Bismillah...
Mencintailah Karena Allah dan Membencilah karena Allah Jua.....
(Nikahilah oleh kalian perempuan-perempuan yang kalian sukai
(QS.An-Nisa [4]:3)
Seorang Akhwat Berhak untuk Menerima ataupun Menolak
Khithbah
An-Nabhaniy
(2001:161) mengungkapkan bahwa jika seorang wanita telah dilamar, maka
dirinyalah yang berhak untuk menerima ataupun menolak calon suaminya, bukan hak
salah seorang walinya ataupun orang-orang yang akan mengawinkannya tanpa seizin
wanita yang bersangkutan, dan dia pun tidak boleh dihalang-halangi untuk
menikah.
Hal di atas seluruhnya menunjukan dengan jelas bahwa
seorang wanita yang tidak dimintai izinya ketika hendak dinikahkan (oleh orang
tua/walinya) maka pernikahannya dianggap tidak sempurna. Jika ia menolak
pernikahannya itu atau menikah secara terpaksa, berarti akad pernikahannya
rusak, kecuali jika ia berbalik pikiran atau ridha.
Tidak Menandai Khithbah Dengan Tukar Cincin
Aktivitas
tukar cincin adalah saling memberikan cincin (untuk dipakai) antara calon suami
dan calon istri sebagai pertanda adanya ikatan pertunangan di antara mereka.
Aktivitas ini biasanya dianggap lumrah oleh sebagian besar masyarakat. Menurut
Muhammad Thalib (2002:48) bertukar cincin bukan merupakan cara islam melainkan
cara bangsa Roma (eropa) yang mendapat pengesahan dari gereja. Jadi, saling
tukar cincin pada mulanya bukan merupakan cara umat kristiani pula, melainkan
warisan kebudayaan bangsa Romawi. Berkaitan dengan hal ini, maka Rasulullah Saw
melarang kaum muslimin untuk meniru-niru kebiasaan kaum kafir. Ia bersabda: Siapa
saja yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka (HR. Abu
Dawud)
Khitbah
Bukanlah Setengah Pernikahan
Kekeliruan
yang terjadi di tengah-tengah masyarakat tentang khithbah sering menggiring
mereka pada anggapan bahwa pasangan laki-laki dan perempuan yang telah
melangsungkan peminangan, maka ia boleh melakukan sebagian aktivitas seperti
suami-istri asal tidak kelewat batas. Misalnya, jalan berduaan, ngobrol
berduaan, dll.
Menurut MR
Kurnia (2005:25) khitbah bukanlah pernikahan, sehingga akad khitbah bukanlah
akad pernikahan. Khithbah sebenarnya hanya merupakan janji kedua pihak untuk
menikah pada waktu yang disepakati. Dengan demikian setelah akad khithbah
dilangsungkan, maka status bagi keduanya adalah tetap orang asing (bukan
mahram) antara satu dengan lainnya.
Kendati
demikian, dalam menjalankan proses khitbah diantara keduanya boleh saling
melakukan kebaikan seperti saling memberikan hadiah, menanyakan kepribadian
masing-masing (karakter, kesukaan), cara pandang, sikap, dsb. Hal ini karena,
khithbah memang merupakan sarana untuk dapat saling mengenal lebih jauh satu
sama lain dengan cara yang ma"ruf.
Berkaitan
dengan pemberian hadiah, Rasulullah Saw bersabda:
"Saling memberikan hadiahlah
kalian, niscaya kalian akan saling mencintai" (HR.Abu Hurayrah)
Selain itu,
Allah Swt juga telah memerintahkan kepada laki-laki dan perempuan untuk
senantiasa bertakwa kepada-Nya:
Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah perkataan yang benar (QS. Al-Ahzab
[33]:70)
Katakanlah kepada orang laki-laki
yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara
kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita
yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, (QS.
An-Nur [24]:30-31)
Pembatalan Khithbah
Dalam
melangsungkan proses khithbah, terdapat banyak hal yang akan ditemukan oleh
kedua belah pihak (ikhwan-akhwat) terhadap keadaan, karakter, sikap, dan sebagainya,
satu sama lain. Sehingga berkaitan dengan fungsi khithbah itu sendiri yaitu
sebagai gerbang menuju pernikahan yang di dalamnya terdapat aktifitas saling
mengenal (ta"aruf) lebih jauh dengan cara yang ma"ruf, maka apabila
ketika dalam aktifitas ta"aruf tersebut salah satu pihak menilai dan
mempertimbangkan adanya ketidakcocokan antara dirinya terhadap calon
pasangannya ataupun sebaliknya, ia berhak untuk membatalkan khithbah tersebut.
Pembatalan
khithbah merupakan hal yang wajar, bukanlah hal yang berlebihan. Menganggap hal
ini secara berlebihan merupakan perbuatan yang keliru, misal ada anggapan bahwa
pembatalan khithbah terjadi karena adanya penilaian bahwa salah satu calon bagi
calon yang lainnya memiliki banyak kekurangan kemudian ia pun menganggap
sebagai pihak yang tidak akan pernah dapat menikah dengan orang lain nantinya
(setelah diputuskan cintanya) karena saat ini pun kekurangan-kekurangan
tersebut dinilai telah berimplikasi pada kegagalan khithbahnya dengan
seseorang. Padahal itu hanyalah sikap skeptis yang muncul pada dirinya karena
lebih terdorong oleh emosional dan kelemahan iman.
Seperti
halnya dalam mengawali khithbah maka ketika akan mengakhiri khithbah dengan
pembatalanpun harus dilakukan dengan cara yang ma"ruf dan tidak menyalahi
ketentuan syara". Dalam membatalkan khithbah, hal yang perlu diperhatikan
adalah adanya alasan-alasan syar"i yang membolehkan pembatalan tersebut
terjadi. Misalnya salah satu ataupun kedua belah pihak menemukan
kekurangan-kekurangan pada diri calonnya dan ia menilai kekurangan tersebut
bersifat prinsip (fatal) seperti dimilikinya akhlak yang rusak (gemar
bermaksiat), berpandangan hidup yang menyimpang dari mabda islam, memiliki
kelainan seksual, berpenyakit menular yang membahayakan, serta alasan-alasan
lain yang dinilai dapat menghambat keberlangsungan kehidupan rumah tangga
nantinya apabila berbagai kekurangan tersebut ternyata sulit untuk diubah.
Selain pertimbangan berbagai uzur tersebut, pembatalan khithbah juga berlaku
apabila adanya qada dari Allah Swt semisal kematian yang menimpa salah satu
calon ataupun keduanya sebelum dilangsungkan akad pernikahan. Selain atas dasar
alasan-alasan yang syar"i, maka pembatalan khithbah tidak boleh dilakukan,
karena hal itu hanya akan menyakiti satu sama lain dan merupakan ciri dari
orang-orang yang munafik, karena telah menyalahi janji untuk menikahi pihak
yang dikhithbahnya.